Kamis, 26 Januari 2012

Makalah Internet, Cyberspace Vis a Vis Pendidikan Agama

Makalah Internet, Cyberspace Vis a Vis Pendidikan Agama


Internet, Cyberspace vis a vis
Pendidikan Agama
By; Supendi

Pendahuluan
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dibidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah termasuk beberapa bidang dalam kehidupan manusia seperti kesehatan, pengangangkutan, pemukiman, komunikasi serta pendidikan. Namun kemudian apakah persoalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu bebas nilai? Sehingga segala persoalan sudah terjawab.
Cukup banyak defenisi dari istilah ini, diantaranya adalah seperti yang disampaikan oleh Williams dan Sawyer (2003). Teknologi Informasi adalah teknologi yang menggabungkan komputasi (komputer) dengan jalur komunikasi yang membawa data, suara ataupun video. Sedangkan Menurut Haag dan Keen (1996), teknologi informasi adalah seperangkat alat yang digunakanuntuk membantu tugas-tugas yang berhubungan dengan pemrosesan data.
Teknologi informasi ini merupakan subsistem dari sistem informasi (information system). Terutama dalam tinjauan dari sudut pandang teknologinya. Salah satu ciri khusus dari bidang ilmu Teknologi Informasi adalah fokus perhatian bidang ilmu tersebut yang lebih bersifat aplikatif. Bidang ilmu teknologi informasi lebih mengarah pada pengelolaan data dan informasi dalam sebuah enterprise (perusahaan atau organisasi kerja lainnya), dengan pemanfaatan teknologi komputer dan komunikasi data serta lebih menekankan pada teknik pemanfaatan perangkat-perangkat yang ada untuk meningkatkan produktifitas kerja. Dalam perkembangannya sejalan dengan paradigma ekonomi baru, maka teknologi informasi menjadi senjata yang handal dalam meningkatkan komunikasi dan interaksi enterprise dengan stake holdernya.
Teknologi informasi adalah bagian dari budaya barat yang acapkali berbenturan dengan kultur ketimuran. Masuknya akses informasi tanpa batas dari luar akan merubah perilaku baik secara positif maupun negatif. Dalam hal ini diperlukan filter sosial dan teknologi yang kuat untuk menahan nilai negatif yang dibawa oleh budaya asing tersebut;
Melihat kembali fakta sejarah dan kilas balik tahap-tahap pertama petumbuhan ilmu pengetahuan sudah berkaitan dengan tujuan ekspansi antar manusia, antar bangsa satu ke bangsa lainnya, pesatnya perkembangan ini sebagai bentuk inovasi penjajahan yang tujuannya untuk menguasai dan memperbudak massa.
Artinya dalam masa perkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi acap kali melupakan factor manusia, bukan lagi berkembang seiring dengan kebutuhan manusia tapi justru sebaliknya manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Sungguh ironi, dan ini merupakan salah satu factor yang menjadi tantangan tersendiri bagi keberadaan umat manusia. Ini adalah sebuah mega proyek yang harus dibayar mahal oleh manusia sendiri yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiannya.
Revolusi dibidang teknologi memang sangat luarbiasa, fenomena ini menjadi salah satu subjek penggerak dunia dan menjadi motor setiap entitas kehidupan. Sebuah energi mekanis dampak dari revolusi teknologi ini secara geologis sudah menyentuk jauh hingga pelosok terdalam sebuah wilayah, tak terkecuali di Indonesia dengan peta wilayah yang sangat multi tekstur pun jangkaun teknologi mekanis ini telah merasuk di dalamnya.
Perkembangan teknologi ini sesungguhnya telah melampaui dua tahap perkembangannya sebuah penjelasan yang cukup mendalam oleh Erich Fromm (Rais, 1979:112) dalam The revolution of Hope yakni Tahap pertama ditandai dengan digantikannya energi semua makhluk hidup (hewan dan manusia) oleh energi mekanis (uap, minyak, listrik dan atom). Pengaruh sumber-sumber energi mekanis baru ini menjadi awal sebuah perubahan radikal yang fundamental dalam sebuah produksi. Inilah salah satu ancaman dan perubahan yang tidak serta-merta disadari oleh manusia sendiri. Ada beberapa alasan yang menurut saya logis selain energi mekanis yang menjadi sumber pengganti ini sebenarnya bukan kategori energi alternative namun peran dan kontribusi yang signifkan dalam masa awal-awal perkembangannya untuk membantu dan menyelesaikan cepatnya kebutuhan dan laju pertumbuhan berbagai bidang ekonomi, social budaya dan ekspansi wilayah, menjadikan sumber energi mekanis ini menimbulkan ketergantungan akut pada pemenuhan kebutuhan manusia.
Sedangkan tahap kedua tidak saja diindikasikan dengan beralihnya fungsi living energy menuju mechnical energy , tatapi juga digantikannya fikiran manusia (human thought) oleh pikiran mesi (the thingking of machines). Inilah awal lahirnya teknologi informasi yang luar biasa dan berkembang pesatnya duni cyber dan internet pada penghujung abad ke-20, dan sampai saat ini mendominasi berbagai aktivitas yang multi dimensional.
Internet adalah hasil olah teknologi informasi yang berkembang begitu cepat, sejak kemunculannya di USA, yang sebelumnya merupakan teknologi militer terbatas telah menjadi teknologi massa yang mengglobal. Di dalamnya internet membangun komunitas dirinya dengan sebutan virtual reality atau dunia maya (cyberspace).  Pada akhirnya kita bertanya: Ke manakah teknologi komputer akan membawa kehidupan spiritual kita? Tak ada yang tahu secara pasti. Internet adalah media dengan dualitas fungsi, ia adalah pisau bermata dua. Thomas E. Miller, seorang Buddha Tibet yang menjabat di Biara Namgyal New York menjelaskan bahwa: “...demikianlah cyberspace dirancang. Ia membangkitkan potensi sesuatu, dan sifat yang akan dibangkitkan itu bergantung pada motivasi penggunanya.”
Di tengah situasi ini, muncul perkembangan terbaru yang bisa kita sebut sebagai revolusi atas realitas. Revolusi itu merubah secara drastis pemaknaan kita atas realitas. Cyberspace merubah pengalaman orang bersentuhan dengan realitas, merubah cara kita mengalami realitas. Realitas tidak hanya berisi segala sesuatu yang nyata tapi juga dapat berupa realitas imajiner, realitas virtual yang ternyata memberikan pengalaman yang tak kalah nyata dengan realitas yang sebenarnya. Realitas baru ini menawarkan sebuah dunia baru, sebuah dunia tanpa batas yang mampu menggantikan apapun yang dapat kita lakukan di dunia nyata, bahkan lebih jauh ia mampu menawarkan apa yang dalam dunia nyata hanya berupa imajinasi dan halusinasi. Inilah zaman baru, zaman ketika dunia ini terbagi dalam dua realitas; realitas “nyata” dan realitas maya atau realitas virtual (virtual reality).
Melihat geliat dan banyak sekali peran keja manusia yang tereduksi dalam penggunakan teknologi, seiring pesatnya dunia informasi, serta semakin kuatnya cakar dunia maya (cyber space) tentu pengaruh segala aspek kehidupan pun mendapat pengaruh signifikan termasuk berpalingnya arah dan definisi Manusia, Agama dan Pendidikan. Kiblat agama dan nuansa pendidikan didalamnya serta  pola laku masyarakat pun kian berubah, banyak kecenderungan yang bisa terjadi secara positif maupun negative, juga membawa arus deras perubahan dunia.

Ontologi Perkembangan Dunia Cyber dan Pendidikan
Memaknai dan mendefinisikan pendidikan juga bisa dilihat dari proses ontology yang berkembang pada masa kekinian, ini adalah tinjauan yang lebih filosofis mendasar untuk melihat begaimana tanggung jawab keilmuan itu bergantung dengan periodisasi masa, melihat perkembangan kekinian perkembangan dunia teknologi dan komunikasi atau yang lebih sepesifik dunia internet atau cyberspace (dunia maya) yang sangat intoleran dengan semangat perkembangan Pendidikan Agama. Ada beberapa alasan pertama kurangnya fleksibilitas dunia pendidikan. Kedua factor human interest dan human need yang saling tarik menarik. Menjadi problem internal pendidikan saat dihadapkan dengan realitas dunia cyber yang semu serta absurd.
Menurut Pranyoto Setyoatmodjo (1988) makna filosofis ilmu pengetahuan sendiri secara teoritis dan diklasifikasi secara sistematik dalam prinsip umum. Ilmu merupakan usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu system mengenai kenyataan, sejah yang dapat dijangkau daya pikiran dibantu dengan penginderaan dan kebenarannya diuji secara empiris melalui suatu penelitian ilmiah. Membaca pendapat ini maka menyandingkan pendidikan dengan dunia maya pada tataran empiris tidak menjadi persoalan kembali kepandangan Mark Slouka terhadap jagad maya yang banyak sekali menenggelamkan para penganutnya dalam lautan kata tanpa makna. Dengan memberi nilai lebih pada setiap system yang ada dilamnya meberi nutrisi dalam memberikan status nilai dan ini menjadi langkah proses transmisi dunia maya (cyber space) kedalam dunia pendidikan yang empiris.
Karena hari ini dunia cyber tidak bisa lepas dengan aktifitas manusia maka sama halnya dengan pendidikan yang semestinya merupakan aktifitas manusia yang tidak bisa terlepas dari pola, tingka dan laku dalam kehidupannya. Dapat dartikan bahwa ilmu dan pendidikan adalah aktivitas manusiawi yang oleh the liang Gie diartikan perbuatan manusia yang tidak hanya merupakan aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses yang bersifat rasional, kognitif dan teleologis.
Rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan berpikir secara logis dan obyektif, sedangkan kognitif berarti suatu rangkain aktivitas pengenalan pengkonsepsian dan penalaran sehigga manusia dapat mengetahui tentang suatu hal.  Dan teleologis dapat diartikan ilmu dan pendidikan sendiri bukan tujuan utama, malainkan seabgai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari urain ini kita dapat menarik sebuah simpulan yang intinya bergeraknya dunia dengan dorongan pengetahuan sangat kuar merefleksikan nilai pendidikan. Secara otologis pendidikan dapat diartikan sebagai pemberian identitas terhadap nilai pendidikan yang inheren didunia maya, mengapa ini menjadi urgen dinia maya sudah menjadi dunia sendiri yang berdiri otonom, manusia yang ada didalamnya juga merubah identitas dirinya untuk menempatan dirinya setara. Secara ma’nawi menjadikan dirinya masuk kedalam alam nirrealitas yang absurd menjadi kan komunitas besar yang tergabung didalam dunia cyber ini kehilangan identitas esensialnya. Maka nilai yang harus ditanamkan dalam pendidikan pun demikian tidak mengambil jarak dalam transfuse ilmu pengetahuannya tapi melakukan akselerasi mendalam.


Ekspansi negative dunia cyber
Sebut saja, facebook sebagai layanan media jejaring sosial yang dimotori oleh mahasiswa Harvard University, Mark Zuckerberg dkk, telah berhasil menghadirkan satu dunia virtual tersendiri bagi umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadinya. Fenomena facebook saat ini menyadarkan saya khususnya bahwa internet empire (kerajaan internet) secara berkala telah melampau kedigdayaan kerajaan-kerajaan besar pada masa lampau, seperti Byzantium, Romawi, Muawiyah, Abbasiyah, Turki Utsmani, Mughal, dan kerajaan besar lainnya dalam hal “wilayah jajahan”.
Salah satu contoh kejadian beberapa waktu yang lalu tentang muncul fatwa tentang Facebook. Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur mengharamkan penggunaan jejaring sosial seperti friendster dan facebook yang berlebihan. Berlebihan itu antara lain jika penggunaannya  menjurus pada perbuatan mesum dan yang tidak bermanfaat.( Kompas, 22 Mei 2009) Tak ayal, fatwa keharaman facebook memicu kontroversi di media. Kontroversi terjadi karena, selain facebook sudah menjadi ikon baru persahabatan di dunia maya yang membuat jutaan penggunanya keranjingan, juga karena distorsi informasi oleh media yang cenderung hanya menekankan pada statemen keharaman facebook dan menghilangkan syarat ‘jika digunakan secara berlebihan’.
Artinya perlu respon positif tentang perkembangan duni sekarang adalah masa yang berbeda. Dunia sudah memasuki abad 21, bukan lagi abad 20, sayangnya kita masih seringkali berpikir dalam perspektif abad 20. Tema sentral abad 20 adalah modernisasi dan industrialisasi. Abad 21 temanya sudah bergeser pada teknologi informasi. Jika rekonstruksi pemikiran Pendidikan, termasuk termasuk farina Pendidikan Islam yang ada di dalamnya, pada abad 20 terfokus pada bagaimana pendidikan Islam mampu menyediakan dasar-dasar hubungan yang progresif antara agama dan modernitas, maka di abad 21, temanya harus bergeser pada bagaimana Pendidikan Islam  memposisikan diri di era informasi
Menarik membaca pandangan Slouka tentang bagaimana dunia cyber yang mengklaim bahwa hibriditas duna net merupakan rimba raya yang menyesatkan. Ia mengaburkan realitas sesungguhnya dengan paradok metaforis, pertukaran makna dan permainan bahasa yang begitu plural. 
Dengan melihat pandangan Slouka yang begitu menonjol dalam persoalan bahasa, dan perhatian utamanya terhadap metafora tidak sekedar mengambalikan makna-makna yang sudah tertanam dalam kehidupan nyata, dan akses-akses bentukan budaya masyarakat dalam pandangan komunal menjadi tereduksi dalam kesefahaman global. Ini adalah nilai negative yang tidak dapat dilakukan tindakan preventif dalam dunia cyber, hingga unsure-unsur pendidikan pun sulit untuk membendung dilemma bahasa yang sudah berkembang menjadi bahan adopsi menjadi sebuah kesadaran real.
Dimana letak hermenutika adalah mendefinisikan ulang makna pendidikan dalam konteks yang berbeda, tidak sama sekali menghilangkan tujuan dan semangat dari pendidikan. Saat ini pendidikan sendiri mengalami banyak dilematis dan kebuntuan jalan. Pada konsep pokok dasar pendidkan adalah memanusiakan manusia maka konsep perkembangan dunia cyber yang menggila dan menggurita mampu menenggelamkan semangat membangun peradaban. Peembangunan industri ydan teknologi yang terus berrevolusi justru menjadi ancaman dunia intelektual bahkan pendidikan juga menjadi satu bentuk criminal baru dalam kehidupan. Kalau dunia maya mampu memberi peran dan warna dikehidupan masyarakat mengapa pendidikan yang bisa menjadi bagian integral dunia tidak dapa tmenyatu dengan dunia maya. Hermenetuika sebagai bagian dari filsafat epistemology mencoba mencari jawaban dari setiap persoalah yang melikupi pola laku manusia termasuk dengan berkembangnya dunia maya Para ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda. Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.
Namun kita dapat mengambil suatu definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.

Hermenetuika pendidikan dan Perkembagan cyber space
Pendidikan adalah salah satu cara melakukan perbaikan untuk menjadi manusia Freire mendefinisikan pendidikan sebagai rangkaian pembaruan (Siti Murtiningsih). Karena itu produk-produk pendidikan akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemaknaannya terhadap realitas. Di sinilah muncul persoalan, model realitas pada era modernisasi dan industrialisasi berbeda dengan model realitas pada era informasi. Pada era modernisasi, yang kita sebut realitas tidak jauh-jauh dari bagaimana produk-produk modern (nilai, ideologi, ilmu pengetahuan, teknologi) menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari di dunia nyata. Sementara era informasi mendefinisikan realitas secara berbeda. Realitas dalam era informasi tidak lebih berupa dunia citra yang diproduksi oleh media-media informasi. Dunia ini dirasakan sebagai pengalaman yang tak kalah riil dari realitas yang ada di dunia nyata. Hanya saja jika realitas di dunia nyata terdiri dari tanah, udara, air, dan seluruh makhluk hidup dengan segenap unsur biologisnya, maka realitas yang diproduksi oleh media informasi tak lebih dari pancaran dari dunia nyata atau simulasi dari tanah, air, udara dan segenap makhluk hidup yang ada di dunia nyata. Itu sebabnya kita menyebutnya dengan realitas virtual, virtual reality.
Penggambaran paling jelas dari realitas virtual kita temukan dalam dunia cyber (cyberspace). Cyberspace menawarkan sebuah dunia alternatif tempat manusia hidup. Dunia ini berupa dunia maya yang dapat mengambil alih realitas di dunia nyata, yang bagi banyak orang bahkan terasa lebih nyata dari kenyataan di dunia nyata, lebih menyenangkan dari kesenangan di dunia nyata, lebih fantastis dari semua fantasi yang pernah dirasakan manusia di dunia nyata, lebih menggairahkan dari semua kegairahan yang pernah ada.
Pendidikan Islam dan latar histories, pendidikan Islam dan dunia cyber sebenarnya sangat bisa berdampingan jika di desain dengan konsep yang benar. Meskipun dunia cyber dikatakan dunia semu, sedangkan Pendidikan Islam adalah dunia empiric memformat konsep pendidkan dalam dunia cyber space bukan berarti menjadikan pendidikan sebagai hayalan dan konsep semu yang pengamalannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dengan melihat fakta perkembangan teknologi yang mampu menghipnosis Pendidikan juga sebenarnya adalah konsep penanaman pemahaman dengan memasukkan dunia cyber menjadi slaah satu alternative memasukkan nilai pendidkan itu cara penerimaan menjadi lebih mudah, masyarakat yang sudah menggila dengan dunia cyber pun akan terbiasa dengan penerimaan nilai yang juga dengan konsep cyber. Hal ini bisa di lihat dari pola laku masyarakat konsumtif, kebiasaan ini dapat diminimalisir dengan memerbikan kontra informative pula.
Mengapa cyber mampu melakukan hypnosis terhadap pola laku manusia, gambaranya sebagai berikut: hypnosis dalam aktivitas keseharian, sebetulanya sangat kerap kita alami. Namun, sering kali kita tak sadar, bahwa apa yang sudah kita alami adalah serangkaian kegiatan hypnosis dalam keadaan sadar.
Peristiwa sederhana berikut sejatinya adalah hypnosis. Ketika kita menyaksikan sebuah tayangan film atau sinetron di televise, emosi kita pun terbawa, menangis atau bahkan marah terhatap tokoh tertentu. Hal ini pula yang sering terjadi bagi sebagain orang yang sering  masuk ke dunia cyber, proses hypnosis ini tidak akan terasa membawa satu bentukan dalam pola prilakunya dalam bersikap, berfikir dan bertingkah laku.
Bagaimana bisa poses demikian bisa terjadi, pada dasarnya manusia senantiasa menggunakan 2 pikiran dalam melakukan aktivitasnya yaitu Pikiran Sadar (Conscious Mind) dan Pikiran Bawah Sadar (Sub Conscious Mind). Pikiran sadar berfungsi sebagai bagian pikiran analitis, rasional, kekuatan, kehendak, factor kritis dan memori jangka pendek, sering kali disetarakan dengan otak kiri (left brain). Sedangkan Pikiran Bawah Sadar (Sub Conscious Mind) berfungsi dalam menyimpan memori jangka panjang, emosi, kebiasaan dan intuisi sering kali disetarakan dengan otak kanan (right brain).
Kedua bagian pikiran ini berisi program-program yang berdampak kepada tindakan dan perilaku. Semua program ini begitu dinamis dan senantiasa berubah seiring dengan tindakan dan perilaku yang terjadi. Dinamika ini sesuai dengan input dan sugesti yang masuk baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa verbal maupun non verbal.
Seperti halanya Pendidikan Islam yang dijadikan trend didalam perkembangan duni Cyber merupakan sebuah tindakan dan perilaku, maka pelu mendapat input/sugesti yang baru untuk mengubah makna pendidikan dan pengajaran di dalam otak setiap pengguna dunia maya. Sehingga pendidikan menjadi sesuatu yang menyenangkan, mengasyikkan dan menjadi proses berkesinambungan dan dibutuhkan.
Mengapa ini harus dilakukan? Ini adalah pertanyaan dasar dalam pengembangan pendidikan yang mau tidak mau harus dilakukan pula ke dunia maya (cyber space). Menurut fitrahnya setiap manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk selalu ingin mengetahui Sesutu. Hasil kerja dan pengetahuan yang didapat manusia bisa saja benar dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, atau bisa juga sebaliknya salah dan membuat kesengsaraan. Andi Hakim Nasution, mengatakan; “Bila manusia ingin menjadi pengelola bumi yang baik, ia harus tak henti-hentinya belajar karena ilmu pengetahuan itu berobah. Ada yang ternyata salah harus dibuang ada pula yang benar harus ditambahkan”.
Sesuai kecenderungan tersebut, pada akhirnya manusia harus melakukan apa yang menjadi tuntutan dalam pengembangan pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Semua dilakukan dalam rangka pengabdian pada keberlangsungan manusia inilah point yang dalam penjelasan ontology pendidikan sudah disinggung. Semangat untuk Kepentingan manusialah yang sebenenarnya tujuan dari Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi baik ditafsirkan secara filsafati atau dengan metode pemikiran hermeneutis.
Dasar-dasar inilah yang coba digali kembali dalam menafsirkan dan mendifinisikan pendidikan untuk ikut sertanya dalam dunia baru berupa cyber space yaitu dunia maya yang tak tersentuh secara fisik namun nyata adanya dan bersar pengaruh terhadap hermenutika pendidikan yang hakiki. Prof. Dr. Koento Wibisono mengatakan: “Implikasi yang kini kita rasakan ialah; Pertama ilmu yang satu sangat berkaitan dengan yang lain sehingga sulit ditarik batas antara ilmu dsar dan ilmu terapan, antara teori dan praktis; Kedua, dengan semakin kaburnya garis batas tadi, timbul permasalahan, sejauhmana sang ilmuan terliat dengan etik dan moral; Ketiga, dengan adanya implikasi yang begitu luas dan dalam terhadap kehidupan umat manusia, timbul pula permasalahan akan makna ilmu itu sendiri sebagai suatu yang membawa kemajuan atau masalah sebaliknya”.
Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa berkembangnya duni Ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang mengglobal timbul pula permasalahn tanggung jawab moral yaitu masa depan manusia, artinya dimana lagi kita akan menyisipkan prinsip dan nilai pendidikan kalalu secacar hermenutis pendidikan tidak ikut serta dalam mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahaun dan teknologi yang maju pesat dewasa ini. 
Dalam kaitannya dengan pola pendidikan dalam bingkai hermeneutis di atas, bahwa yang paling penting dan diperlukan daam penerapan kemajuan dunia cyber sebagai reaksi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sikap etis. Dengan demikian dalam menterjemahkan pendidikan untuk memanusiakan manusia di dunia maya (cyber space) manusia sendiri tidak kehilangan identitas kemanusiaannya sebagaiman saat ini terjadi, dan tidak ada keuntungan dan kepentingan yang didapatkan oleh individu dan kelompok manusia.

Cyber space dan agama
Secara khusus dunia maya pun dilirik oleh kaum agamawan. Teknologi ini mendapatkan perhatian yang cukup proporsional dari komunitas-komunitas religius di penjuru dunia seperti para juru da’wah, para guru dan pendidik dan agamawan. Komunitas penganut agama-agama besar seperti kaum Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu dan Buddha telah membangun markas-markas di Internet yang menjadi bagian dari basic dunia cyber.
Komunitas religius mulai menyadari arti-penting dunia Internet. Hal ini diikuti dengan adanya tindakan-tindakan untuk mengaktualisasikan identitas agama mereka masing-masing sebagai perwujudan kesadaran spiritual mereka. Sehingga, pada saat ini, ratusan—bahkan ribuan—situs-situs web (world wide web) religius, membanjiri ruang maya dan merupakan situs web yang cukup diperhitungkan dan diminati keberadaannya. Ada beberapa hal yang mendasari komunitas religius untuk melibatkan diri dan organisasi mereka ke dalam dunia Maya:
        Pertama, komunitas religius ‘melihat’ cyberspace merupakan sebuah realitas baru yang cukup prospektif, proporsional dan menjanjikan, di mana jika ia dimanfaatkan secara intensif, bisa menjadi sebuah media dan sarana penyeru dakwah yang efektif dalam rangka menyampaikan misi-misi suci keagamaan kepada masyarakat luas.
        Kedua, adanya anggapan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa pengaruh yang luar biasa luas dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk aspek agama dan pendidikan, sehingga keterlibatan agama dalam teknologi ruang maya dianggap perlu sebagai sebuah bentuk adaptasi yang sekaligus memberikan image pada para penganut suatu agama bahwa agama yang dianut tersebut bukanlah agama konservatif dan tidak peka dengan kemajuan zaman.
Ketiga, sebagian komunitas religius memandang duni cyber  sebagai metafora Tuhan, karena dalam lingkup peran “ketuhanan”, dunia maya mampu memberi berbagai pelayanan yang berkaitan dengan hajat rohani atau bathin manusia.
Jeff Zaleski dalam bukunya Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Kita (1997) [terj.], menyajikan gagasaan yang cukup menarik. Ia membuka wacana perpaduan agama dan teknologi dunia maya sebagai suatu pasangan yang serasi. Bagi Zaleski, tidak ada alasan untuk tidak melihat sisi positif dari keterpaduan itu. Sebab, teknologi internet di era global ini justru semakin terpakai dan berdaya-guna dalam rangka eksistensi agama-agama manusia. Betapapun kemajuan teknologi membentuk sistem sekuler dan berusaha menyingkirkan nilai-nilai agama namun pada hakekatnya, manusia dengan fitrahnya selalu memiliki kecenderungan untuk mewarnai setiap lini kehidupan mereka dengan nilai-nilai agama.
Dari penjelasan di atas layaknya ada satu kekhawatiran benturan dan pertikaian realitas kehidupan beragama. Maka menyandingkan nilai dan pendidikan agama dalam perkembangan dunia maya (cyberspace) menjadi suatu keharusan. Hal ini sudah tampak bagaimana tercerabutnya praktik kehidupan keberagamaan di masyarakat yang hilang arah berpaling kepada kemeriahan dunia cyber yang lebih menyenangkan dan dianggap tempat yang tepat untuk mengaktulisasikan kehidupannya.
Internet secara tidak langsung menjadi refleksi efektivitas kegiatan agama-agama besar dunia. Ketika—meminjam istilah Jeff Zaleski—perang salib digital berlangsung sengit, di mana ratusan ideologi sekuler bersarang di dunia maya ini, agama muncul untuk memukul mundur efek buruk dari ribuan jenis situs yang ada. Sebut saja seperti www.eramuslim.com, www.christianweb.com, www.shamash.com, dan banyak lagi situs-situs lainnya yang mengusung ideologi religius yang mewakili agama-agama di dunia. Ini sebuah realitas yang berbicara di mana Internet menjadi sebuah wadah dan media yang tidak bisa diabaikan oleh kaum agamawan—mengingat begitu agresifnya ratusan ideologi sekuler di Internet di mana nilai-nilai agama turut ‘berenang’ bersamanya. Sebagai contoh, coba saja ketik kata “Islam” pada mesin cari (search engine) di situs Yahoo! (www.yahoo.com), maka di situ kita akan merasa takjub, karena ada 1.082 situs dan topik berkaitan dengan Islam dalam berbagai isi-visi dan bahasa. Akan lebih takjub lagi bila kita mengetikkan kata “Islam” di Altavista (www.altavista.com), di situ kita akan melihat 872.577 situs Islam. Terjadi peningkatan luar biasa atas keberadaan situs religius.
        Kecenderungan di atas membuktikan, bahwa Internet semakin dipercaya sebagai sarana bagi pengembangan agama. Baik agama yang bertujuan politis, menyebarkan ide tentang negara agama, nilai spritualitas, memajukan nilai keilmuan atau intelektualitas. Wacananya sangat beragam. Komarudin Hidayat, ketua Yayasan Wakaf Paramadina, mengomentari bahwa pada dasarnya, agama-agama di dunia tidak terlalu aneh dengan fenomena cyberspace atau dunia maya. Agama langit. misalnya Islam, pada awalnya dalam mengkomunikasikan kata-kata, tak ubahnya seperti yang ada di Internet saat ini. Firman atau ajaran Allah yang diterima Nabi Muhammad datang dari sesuatu yang maya yakni malaikat Jibril. Jadi, Jibril tidak ubahnya seperti Internet, kata-katanya didengar dan dipahami dari sesuatu yang tak berwujud. Fenomena itu dikenal sebagai wahyu. Kekuatan dunia maya itu sangat luar biasa. Siapa dapat menyaingi cyberspace yang diterima Muhammad dari Jibril? Diakses sekian ratus juta manusia dari zaman ke zaman selama 14 abad lebih. Itupun hanya mengandalkan kekuatan kata-kata dan gagasan. Orang bebas untuk menerima atau menolaknya. Persis seperti Internet.
        Terlepas dari benar-tidaknya logika yang dikembangkan oleh Komarudin, hal tersebut merupakan sesuatu yang layak kita pertimbangkan di tengah maraknya wacana tentang agama-agama cyberspace.

Sebuah Simpulan
Sesungguhnya informasi adalah terus menerus mengalir, bagaikan air sungai yang selalu menyusuri lembah menuju anak sungai. Begitulah realitas informasi sebagai kebutuhan umat manusia saat ini. Ia akan terus menghantam segala “penghalang” yang ada di depan. Tidak bisa dihalangi oleh batu sebesar apa pun. Informasi –baik yang positif maupun yang negatif- kita konsumsi setiap saat. Keimanan kitalah yang selanjutnya berfungsi sebagai filter, memfilter informasi apa saja yang semestinya kita konsumsi. Maka untuk memfilter itu semua butuh asupan dalam mendifinisikan pendidikan, agar dunia maya benar-benar tidak hilang makna. Mengisinya dengan agama, merubah nilai dan prangsangka menjadi tantangann untuk yang bergelut di dalam pendidikan.
Bijaksanalah menyikapi zaman virtual. Karena tidak ada pihak yang bisa mencegah kita melakukan penyimpangan-penyimpangan menggunakan media internet selain diri kita sendiri yang kita bentengi dengan sikap takut kepada Allah SWT. Akhirnya, kesadaran (baca: iman) menjadi hal yang urgent dalam memetakan kita bersikap secara proporsional mendayagunakan internet sebagai media virtualisasi Pendidikan Agama.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar